Contoh
Kasus pelanggaran etika bisnis
Pelanggaran etika bisnis terhadap
akuntabilitas
Sebuah Rumah Sakit Swasta melalui pihak
pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara
otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS
Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut
pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak
dan kewajiban, dia berhubungan dengan pengelola bukan pengurus. Pihak pengelola
sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut. Karena
sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini, RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan
Pengurus Rumah Sakit.
Pelanggaran
etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI melakukan rekruitmen
untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa
perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti
training dan dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan
tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan
dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik
dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7
juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan
PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini,
Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan
mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara
tujuan untuk bekerja.
Contoh
Kasus pelanggaran yang merugikan Konsumen
“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran
angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya
kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor
menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak
sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul
ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan
mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan
sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk
pembayaran dengan jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat,
dan mudah sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya.
Sementara klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat
informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita
cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak,
membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan
identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor
tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena
fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian
konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan
telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun
ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran,
akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF
Merasa dirugikan, konsumen mengadukan
masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS
menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara
penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan
penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.